Sepanjang sejarah peradaban manusia pasca
menyebarnya ajaran agama islam dan literaturnya ke seluruh penjuru dunia,
banyak sekali terjadi penemuan dan pengembangan ilmu pengetahuan dalam segala bidangnya
oleh para tokoh muslim, baik di bidang kedokteran, ilmu falak, fisika, kimia,
pemikiran filsafat dan lain sebagainya, semua itu berkat berkembangannya
pemikiran manusia yang berpedoman pada al-quran sebagai sumber ilmu pengetahuan
yang menyuruh kita untuk mentadabburi alam semesta.
Sebagai bukti nyata atas kemajuan ilmu pengetahuan
dalam sejarahnya, kita dapati ratusan bahkan ribuan buku literature kuno yang
diwariskan para ulama terdahulu yang menjadi referensi premier ilmu pengetahuan
di era modern, akan tetapi sangat disayangkan banyak sekali manupulasi sejarah
islam yang membuat kita sering kali tertipu dengan fakta sejarah. Salah satu
contohnya, dalam sejarah penerbangan selalu menyebutkan para tokoh non-muslim
seperti Roger Bacon, wright bersaudara dan tokoh lainnya, dengan melupakan
cikal bakal yang ditelorkan cendekiawan muslim ‘Abbas Ibnu Firnas al-Qurtubi
(wafat tahun 274H/887M), walaupun sebelumnya pernah disebutkan ada usaha orang
yunani bernama Ikarus[1] yang
mencoba terbang akan tetapi usaha itu tidak berhasil, maka Ibnu Firnaslah
penemu pertama teori dasar penerbangan dengan alat sekaligus berhasil
mempraktekannya.
Dalam tulisan ringkas ini, kita akan membaca ulang biografi
Ibnu Firnas dan karya-karyanya yang ikut memberikan perubahan dalam sejarah
manusia, khususnya dalam kemajuan ilmu modern sekarang ini.
Nama
Tokoh muslim ini bernama asli Abu al-Qasim
al-‘Abbas bin Firnas bin Wardas al-Takarti al-Qurtubi, dalam istilah barat
dikenal dengan nama Armen Firman, ia berasal dari suku Amazigh di Maroko (suku
Barbar Takarta atau Takarna[2], dikenal
dengan kota Ronda di Spanyol sekarang). Para ahli sejarah berbeda pendapat
dalam penentuan tahun kelahirannya, akan tetapi semua sepakat bahwa ia hidup
pada akhir abad kedua memasuki ketiga hijriyah, tepatnya pada masa khalifah al-Hakam
bin Hisyam (wafat 206H/ 832M), kemudian pada masa khalifah ‘Abdurrahman bin
Hakam, kemudian khalifah Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Hakam raja bani Umayyah
di Andalusia di abad 9 Masehi.
Para ahli sejarah juga sepakat bahwa Ibnu Firnas wafat
pada tahun 274H/ 887M di Kordoba – Spanyol di umurnya yang ke-80, jadi dari
kesepakatan tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa Ibnu Firnas diperkirakan
lahir pada tahun 194H/ 807M.
Kehidupan
Ibnu Firnas tumbuh besar di Kordoba, salah
satu kota pusat ilmu pengetahuan di Andalusia, karena perkembangan ilmu
pengetahuan yang pesat menjadikannya kiblat dan tujuan utama para penuntut ilmu
dari berbagai kalangan di belahan barat, sebagaimana ia menjadi kembaran kota
Baghdad yang pernah menjadi kiblat ilmu dan ulama di timur.
Diusianya yang masih belia, Ibnu Firnas belajar
al-Quran dan ilmu syariah di salah satu katatib (madrasah diniya) di kota
Takarta, kemudian ketika menginjak usia dewasa, ia berpindah ke masjid jami’
Qordoba untuk memperdalam ilmu pengetahuannya baik dalam ilmu syariah,
munadhara (dialog), jadal (debat), syair, literatur Bahasa (nahwu, saraf, dan
balaghah) dan beberapa ilmu empiris seperti kimia, fisika, ilmu alam dan
kedokteran. Berbeda dari para pendahulunya, Ibnu Firnas tidak sebatas belajar
teori, ia juga mengujicoba keabsahan teori-teori tersebut untuk menghasilkan
suatu formula yang pasti. Berkat kejeniusan dan kegigihannya dalam menggali
ilmu menjadikannya sebagai salah satu ulama tersohor di zamannya, bahkan majlis
ta’limnya dipadati para penuntut ilmu dari tanah Andalusia dan sekitarnya.
Hidup dalam lingkungan akademis, bergulat dengan ilmu,
menyibukkan diri dengan penelitian, memperbanyak halaqah syair dan dialog
ilmiah, membuat ibnu firnas semakin matang dalam berfikir, mahir dalam bidang
ilmu yang ia tekuni dan fasih dalam bersyair. Namanya kian membumbung di udara
andalusia, terkenal di kalangan para penyair Andalusia, semisal Muemin bin
Sa’id dan Abu ‘Umar bin ‘Abdurabbih (pengarang kitab al-‘Aqdu al-Farid) dari kalangan
penyair khalifah Muhammad bin ‘Abdurrahman.
Bait-bait syair Ibnu Firnas mulai terdengar di istana
khilafah, salah satu syairnya yang terkenal adalah syair yang ia hadiahkan
untuk khalifah Muhammad atas kemenangan melawan para pemberontak Thalithalah
beserta para sekutunya dari Spanyol di tahun 240H/ 854M, bait syairnya
berbunyi: [3]
ومؤتلف الأصوات مختلف الزحف
إذا أومضت فيه الصوارم خلتها
|
***
***
|
لهوم الفلا عبل القبائل ملتف
بروقًا تراءى في العمام وتستخفي
|
Ia juga terkenal dengan syairnya ketika mendiskripsikan
rawdhah (taman):[4]
ترى وردها والأقحوان كأنه *** بها شفةٌ لمياَء
ضاحكَها ثغرُ
Dalam buku Nafkhu al-thib min ghusni al-andalus
al-rathib, al-maqarriy mengatakan pernah terjadi muhajaat (saling menyindir
atau mengejek dengan syair) antara Ibnu Firnas dan Muemin bin Sa’id, diantara
muhajaat mereka, syair Ibnu Firnas menyindir muemin[5]
yang selalu menghindar dari hadapan ibnu firnas seperti halnya abu kayu yang
diayak sehingga menjadi kebulan debu beramburan:
ترى أثَر الأعراد في جُحْر مؤمنٍ *** كآثار
قُضْبٍ في رَمادٍ مُغَرْبَلِ
Sayang sekali muhajaat tersebut tidak terabadikan
dengan sempurna, melainkan hanya potongan-potongan syair pendek, sehingga tidak
memberikan kita gambaran muhajaat yang utuh.
Contoh lain dari muhajaat mereka, ketika ibnu Firnas
memuji khalifah Muhammad bin ‘Abdurrahman dengan syair yang berbunyi:
رأيتُ أميرَ المؤمنين محمدًّا *** وفي وجهه بَذرُ المحبة يُثمِر
“Saya menatap amiru al-mueminin Muhammad, terlihat di
wajahnya benih-benih kasih sayang yang selalu berbuah”. Mendengar bait syair tersebut,
muemin bin sa’id berkomentar: “hina sekali apa yang kamu katakan ya ibnu
firnas, kamu anggap wajah amiru al-mueminin ladang yang menghasilkan benih
benih”, kemudian mencaci ibnu firnas.[6]
Selain ia dikenal dengan penyair, ibnu firnas juga termasuk
salah satu nuhad (ahli nahwu) di zamannya. Imam Zubaidi[7]
dalam kitab Thabaqat al-Lughawiyin wa al-Nahwiyin mencantumkan nama ibnu firnas
dalam peringkat ketiga dari para ahli nahwu dan sastra arab di Andalusia, ini
menandakan bahwa ibnu firnas salah satu pakar ilmu sastra arab yang tersohor di
zamannya. Beberapa buku sejarah andalus dengan tegas menyatakan, Ibnu Firnas
orang pertama yang mensyarah kitab al-amstal fi ilmi ‘arudh karangan Imam
Khalil al-Farahidi dan mengajarkannya di tanah Andalusia. Imam Zubaidi mendeskripsikan
biografi Ibnu Firnas: “Ia adalah ‘Abbas bin Firnas bin Wardas, ahli dalam ilmu
sastra, salah satu orang cerdas dan teliti yang menjadi rujukan dalam
bidangnya”.[8]
Hal senada juga disampaikan Muhammad ‘Abdullah ‘Inan
dalam bukunya Tarajim Islamiya Syarqiya wa Andalusia: “Para ulama di zamannya mengomentari biografi Ibnu
firnas, bahwasannya ia adalah cendekiawan, penyair yang keluar dari mulutnya
kata-kata mutiara yang penuh hikmah, menemukan hal-hal baru yang jarang
ditemui, memiliki postur tubuh yang rupawan dan menawan layaknya air yang
senantiasa membasahi apa yang dikenainya”.[9]
Tidak sebatas dalam bidang Bahasa, Ibnu Firnas juga
menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan, diantaranya ia menjadi pakar dalam
ilmu alam dengan meneliti gejala-gejala alam dan mempelajari mekanisme
terjadinya halilintar dan kilat, pakar ilmu falak (astronomy), ilmu kedokteran,
fisika matematika dan kimia[10].
Dengan kejeniusannya dalam menguasai berbagai bidang ilmu dan penerapannya,
memudahkannya untuk bereksplorasi memunculkan penemuan-penemuan baru yang belum
pernah terjadi sebelumnya, diantara penemuannya yang sangat patut dibanggakan,
kemampuannya membuat kaca sebagai hasil dari ujicoba penggabungan zat-zat tertentu
dalam ilmu kimia, penemuan pengolahan batu kristal, penemuan obat herbal yang
berguna dalam kedokteran, penemuan peraga rantai cincin sebuah alat mirip
estorlap yang digunakan untuk mengetahui peredaran matahari, bulan, bintang dan
masih banyak lagi hasil karyanya yang akan kita ulas pada pembahasan selajutnya.
Atas segala penemuan dan keluasan ilmunya tersebut ia pantas menyandang gelar
cendekiawan Andalusia.
Guru dan murid
Sejauh penelaahan penulis, masih sangat
sedikit sekali referensi sejarah dan biografi tokoh yang membahas biografi Ibnu
Firnas, bahkan hanya dalam hitungan jari, hal tersebut menyulitkan kita untuk
mengetahui siapa para guru dan murid yang pernah menuntut ilmu darinya. Kita
hanya bisa mengumpulkan data sejarah biografinya dari buku-buku literatur
sastra arab yang kondisinya masih terpencar-pencar.
Masih menurut hemat penulis, ada beberapa
faktor yang menyebabkan minimnya tulisan tentang biografi Ibnu firnas,
diantaranya:
1. Pribadi Ibnu Firnas yang merupakan ‘alim
mawsu’i (cendekiawan) yang menguasai berbagai ilmu pengetahuan, khususnya dalam
ilmu-ilmu empiris di abad permulaan penyebaran islam, dimana mayoritas ulama lebih
condong menekuni ilmu agama dibanding ilmu alam, sehingga sedikit sekali
ketertarikan para sejarahwan untuk mencatat perjalan sejarahnya.
2. Selain itu juga, karena faktor tidak adanya
buku karangan yang ia wariskan untuk generasi setelahnya, hal ini menjadikan ilmu
dan karya agungnya hilang ditelan masa. Dengan tidak adanya catatan seperti ini
yang menyebabkan mudahnya memanipulasi sejarah, khususnya sejarah para tokoh
islam.
Kiprah
Pada pembahasan ini kita akan membahas
karya ibnu Firnas dengan lebih terperinci dari apa yang kita sebutkan diatas,
diantara karyanya yang masih dapat kita lihat sekarang adalah sebagai berikut:
1. Penemuan al-miqatah (jam air yang
menggunakan sistem bayangan matahari[11]), Ibnu firnas adalah penemu pertama jam air sepanjang
sejarah peradaban manusia, sebagaimana disebutkan dalam buku al-A’lam, Dr.
Idris Kharsyaf.
Alat
tersebut ia persembahkan untuk khalifah Muhammad ‘Abdurrahman (238-273H/ 851-886M),
dan ia lampirkan bait-bait syair didalamanya[12],
yang berbunyi:
ألا أنني للدين خير أداة
ولم تر شمس النهار ولم تنسـ
بيمن إمام المسلمين محمد تجلـ
|
***
***
***
|
إذا غاب عنكم وقت كل صلاة
ـر كواكب ليل حالك الظلمات
ـت عن الأوقات كل صلاة
|
2. Penemuan al-minqalah, yaitu alat penghitung
waktu. Dr. Idris al-Kharsyaf[13]
mengatakan dalam buku al-A’lam fi ma’rifati awqati al-shala wa ma’rifati
al-ayyam: “Salah satu alat yang didesain ibnu firnas adalah al-minqalah, yaitu
alat penghitung waktu, seperti apa yang masih ada di Masjid al-Kabir di kota
Tanger sekarang ini”.
3. Penemuan alat zdat al-halaq (peraga rantai
cincin), yaitu sebuah alat yang mirip dengan estorlap, alat tersebut berfungsi untuk
mengetahui rotasi matahari, bulan dan planet-planet di angkasa, dengan
menggabungkan ilmu falak, matetika dan fisika. Dalam istilah sekarang alat itu dikenal
dengan nama Sphère Armillaire.
Alat
tersebut ia persembahkan ke khalifah ‘Abdurrahman bin al-Hakam (206-238H/819-851M),
ia juga melampirkan bait syair tentang penggunaan dan fungsi alat tersebut[14],
isi dari bait syairnya:
قد تمّ ما حملتني من آلة
لو كان بطليموس ألهم صنعة
فإذا رأته الشمس في آفاقها
ومنازل القمر التي حجبت معا
يبدون فيها بالنهار كما بدت
|
***
***
***
***
***
|
أعيا الفلاسفة الجهابذ دوني
لم ليثقل بجداول القانونِ
بعثت إليه بنورها الموزون
دون العيون بكل طالع حين
باليل في ظلماتهن الجون
|
4. Penemuan kubah langit, yaitu sebuah kubah
yang didesain sebagai miniatur langit dan isinya, dengan gambar menyerupai awan,
bulan, bintang, petir yang sangat menakjubkan. Hal ini membuat para warga
andalus berbondong-bondong mendatangi rumah Ibnu Firnas untuk menyaksikan
pemandangan indah di atap rumahnya, sebagaimana disebutkan para sejarahwan
seperti al-Zarkili dan Dr. Rihab Hadhar ‘Akawi dalam bukunya ‘Abqariyatu al-Islam.
Melihat kemegahan kubah ibnu firnas
penyair muemin bin sa’id yang selalu kontra dengan Ibnu Firnas melantunkan
syair satirisnya:[15]
سماءُ عباس الأديب أبي الـ
أمّا ضُراطُ اسْتِهِ فراعدها
لقد تمنيتُ دوَّمها فكريَ
|
***
***
***
|
ـقاسم ناهيكَ حسنُ رائقِها
فلَيْتَ شعري ما لَمعُ بارقِها
بالبصق في است خالقها
|
5. Penemuan
kaca silika dan kaca murni tidak berwarna dari batu dan pasir.
Para
ahli sejarah telah sepakat bahwa ibnu firnas penemu pertama kaca dari batu dan
pasir di andalusia, menjadikan benda ini tidak hanya dimiliki orang-orang kaya di
zaman itu, akan tetapi bisa dimiliki siapa saja yang membutuhkan, dan inilah
faktor pendorong ibnu firnas untuk terus bereksperimen menerapkan ilmu kimia,
hingga menemukan hal-hal baru yang berguna bagi kemaslahatan manusia.
6. Penemuan
teori penerbangan pertama kali.
Ibnu
Firnas penemu pertama teori penerbangan dalam sejarah, pada awalnya ia terinspirasi
oleh burung yang dapat terbang bebas di angkasa dengan sayapnya, ia
berkeyakinan manusia juga pasti bisa terbang, maka ia mencoba merancang peralatan
dengan penuh pertimbangan dan perhitungan, untuk mewujudkan keinginannya itu, ia
mempelajari berat tubuh manusia dan tekanan udara serta pengaruhnya terhadap
tubuh di udara. Ilmu pengetahuannya di bidang ilmu alam, matematika dan kimia
memudahkannya untuk mengetahui karakteristik benda termasuk tubuh manusia.
Pada
kali pertama percobaannya tahun 239H/852M sekitar di umur 35 tahun, ia mencoba
terbang dengan parasit lebar yang dari batang kayu ringan dan kain dari menara
masjid kordoba, ia berhasil mengudara bebarapa meter saja, kemudian terjatuh dan
mengakibatkan luka-luka ringan[16]. Para masyarakat
terkagum-kamum menyaksikan keberhasilan ibnu firnas. Setelah percobaan
pertamanya itu, ia berusaha untuk membenahi dan melengkapi kekurangannya selama
bertahun-tahun.
Di
usia senjanya sekitar umur 65 tahun, ia mencoba terbang kesekian kalinya dengan
mengenakan pakaian yang terbuat dari serat sutra putih yang serat dan padat,
kemudian ia balut dengan bulu-bulu burung nasar, dan sepasang sayap dari kayu dan
parasit kain sutra. Disebutkan dalam buku mausu’a tarikh al-andalusia, ibnu
firnas melompat dari anak bukit jabal al-‘arus[17] (gunung
‘arus atau mount of the Bridge) di kota Min Aqwat atau dalam Bahasa spanyol
disebut Monte Agudo dekat kota Balnasia.
Sambil
menunggu kerumunan masyarakat yang akan menyaksikan ujicobanya kali ini ia
berkata dengan suara lantang: “والآن أستأذنكم لأحلق
في الجو كالطائر، فإن سارت الأمور على ما يرام، فسأتمكن من العودة إليكم سلما” (Dan sekarang saya minta doa restunya
untuk terbang di udara layaknya burung, seandainya semuanya ini berhasil, maka
saya akan kembali dengan selamat), kemudian ia melompat dari puncak bukit
dan berhasil terbang dalam beberapa waktu kurang lebih 10 menit sebelum
akhirnya gagal mendarat yang mengakibatkan cidera parah di tulang punggung[18], dalam
beberapa riwayat disebutkan tulang rusuknya patah. Kegagalan itu karena ia lupa
memperhatikan bagaimana burung menggunakan ekornya untuk mendarat, diapun lupa
untuk menyiapkan ekor di tempat yang tepat pada manusia terbang ketika akan
mendarat.
Salah
satu saksi mata yang ikut menyaksikan percobaan tersebut mengatakan: “Ibnu
Firnas telah berhasil terbang di udara layaknya burung, akan tetapi ketika
ingin mendarat di tanah ia terkena musibah di punggungnya, dikarenakan ia tidak
menggunakan ekor, dan mungkin tidak memperhatikan burung ketika akan landas
pasti menggunakan ekornya”.[19] Itulah
kenapa pesawat terbang ketika akan lepas landas pasti dengan roda belakang yang
lebih dahulu menyentuh tanah kemudian roda depan, hal itu karena belajar dari burung
dan pengalaman ibnu firnas.
Keberhasilan
ibnu firnas untuk terbang menjadi buah bibir di khalayak luas penduduk kordoba,
disetiap sudut kota terdengar kerumungan membicarakannya, namun tidak semua orang
menyukai apa yang dilakukan Ibnu Firnas, banyak juga kalangan yang semakin
gerah dibuatnya, ibarat kata orang “Dimana ada hujan disana pasti ada petir”,
disetiap kesuksesan pasti ada juga yang menghasutnya. Muemin bin sa’id yang
dikenal dengan julukan al-Sya’ir al-sakhir (penyair satiris) selalu
menjelek-jelekkan ibnu Firnas, hal itu ia ungkapkan dengan bait syairnya yang
berbunyi:
يطمُّ على العنقاء في طيرانها *** إذا ما سحا[20] جسمانَه ريش قشعمِ
7. Penemu alat
menyerupai pena tinta, dalam penemuannya itu Ibnu Firnas berniat untuk
menyumbangkan suatu penemuan yang dapat memudahkan para penulis buku dimanapun
berada.[21]
8. Ia berhasil
mengembangkan proses pemotongan batu Kristal, yang pada saat itu hanya
orang-orang Mesir saja yang mampu melakukannya, berkat penemuan itu, Andalusia
tidak lagi membutuhkan tenaga ahli dari Mesir, karena bisa diselesaikan dalam
negeri.
Kecintaannya terhadap musik
Disamping dari prestasinya dalam dunia
intelektual, Ibnu Firnas juga gemar memainkan musik, bahkan ia menciptakan alat
pukul bernama al-riq (semacam rebana) dan mahir mendendangkan lagu dengan
petikan ‘ud (gitar arab klasik). Kecintaanya tersebut mengundang perbincangan
para fuqaha dan warga biasa, bahkan menuduhnya sebagai pengikut zanadiqa, akan
tetapi tak seorangpun yang memiliki bukti atas tuduhan tersebut.[22]
Kemahiran ibnu firnas dalam dunia musik mulai
terdengar di istana khalifah, sehingga suatu ketika khalifah Muhammad bin
‘Abdurrahman mengundannya di acara pesta istana, pada kesempatan ini Ibnu Firnas
melantunkan lagu dengan suara indahnya. Sebagaimana disebutkan sejarahwan pada
zamannya, ada dua lagu yang ia dendangkan saat itu, yang pertama berawalkan
syair:
الجهل ليلٌ ليس فيه نور *** والعلم فجرٌ نوره
مشهور
Dan yang kedua terdiri
dari empat bait syair yang ia tuliskan di atas buah apel yang ia berikan ke
khalifah, bait syairnya berbunyi:
تُفاحة مصفَرة البعض
أمنتَها ذاك وكسيتها
وقلت فيها الحق من بعد
محمد أكرمُ مستخلف
|
***
***
***
***
|
نحو فيها من ألم العضّ
حسنا بذا من ذنيب محض
ذا وما لقول الحق من نقض
من خلفاء الله في الأرض
|
Mendengar pujian tersebut sang khalifah
menghadiahkan untuknya 400 dinar sesuai jumlah bait syair yang ia berikan, kemudian
khalifah pun berkata: “seandainya kamu tambahkan lagi bait-bait syairmu, maka
pasti akan aku tambahkan dinar untukmu”.[23]
Kecintaannya terhadap musik membukakan pintu
pergaulannya dengan banyak orang, selain dikenal dengan seorang cendekiawanan,
ia juga dikenal dengan pribadi yang supple, yang mudah bergaul dengan semua
kalangan. Pernah suatu ketika ia bertamu ke rumah sahabatnya yang bernama
Mahmud bin Abi Jamil, tidak ia duga ternyata di rumah Mahmud ada seorang
penyair sekaligus penyanyi kondang yang juga sedang bertamu, namanya Abu
al-hasan ‘Ali bin Nafi’ yang dikenal dengan nama Ziryab[24]
serta beberapa tamu lainnya. Kedatangan Ibnu Firnas disambut hangat oleh
mereka, kemudian dihidangkanlah untuknya jamuan makanan untuk para tamu.
Setelah berbincang ringan, ziryab mulai melantungkan lagu dengan bait syair
yang berbunyi:
ولو لم يشُقني الظاعنون لشَاقَني
تداعَيْن فاستَبكيْنَ مَن كان ذا هوًى
|
***
***
|
حمامٌ تداعَتْ في الديار وقوعُ
نوائحُ ما تجرى لهن دموعُ
|
Para tamu pun bersorak
gembira mendengar melodi suara emas ziryab yang menembus telinga dan membius jiwa
melalui saraf-saraf batin. Melihat efek bius lagu ziryab Ibnu Firnas mencoba
ikut menghangatkan suasana langka itu, ia mengambil ‘ud dan memetiknya dengan
lantunan lagu syair yang berbunyi :
شدَدتُ بمحمودٍ يدًا حين خانَها
بنَى لمساعى الجُود والمجدِ قبَّةً
|
***
***
|
زمانٌ لأسبابِ الرجاء قطوعُ
إليها جميعُ الأجوَدِين ركوعُ
|
Mahmud dan para tamunya
sangat terhibur sekali dengan kehadiran dua pendendang lagu saat itu, ia pun
menghadiahkan qubbah (peci) dan kiswah (jubah) kesayangannya kepada Ibnu Firnas
sambil mengatakan : "aku persembahkan ini untukmu ya Ibnu Firnas, karena
kamu sudah menyebutnya dalam syair lagumu, untuk kesempatan berikutnya kami
akan bertamu ke rumahmu".[25]
Fitnah buta
Segala jerih payah Ibnu Firnas memang patut dibanggakan, pasalnya
banyak sekali sumbangsih yang ia berikan untuk kemajuan peradaban islam di
tanah andalusia, kemudian meluas ke penjuru dunia dan kita rasakan saat ini, akan
tetapi sudah menjadi sunna tullah; setiap sesuatu diciptakan dengan saling berlawanan,
ada malam juga ada siang, ada kebaikan juga ada kejahatan, begitu juga ada
usaha untuk kemajuan pasti ada juga yang mencoba untuk menggagalkannya.
Dan
inilah apa yang terjadi pada Ibnu Firnas, dibalik penemuannya yang gemilang ada
para penghasut yang ingin menghancurkannya dengan berbagai cara, salah satunya dengan
fitnah buta yang digencarkan para fuqaha dari pihak lawan. Ia dituduh melakukan
praktek sihir dan sulap dalam setiap penemuannya, bahkan dalam percobaannya
untuk terbang pun dianggap tipu muslihat dengan bantuan kekuatan ghaib, lebih
dari itu ia dituduh kafir dan zindiq, hingga akhirnya dia diseret ke meja hijau
untuk diadili di depan hakim kordoba, ketika itu bernama Qadhi Sulaiman bin
Aswad al-Ghafuqi[26],
peradilan tersebut digelar di masjid jami’ Kordoba. Para saksi didatangkan
untuk memberikan kesaksiannya, diantara kesaksian mereka ada yang mengatakan:
“Saya mendengar ibnu firnas mengucapkan mantra “مفاعيل مفاعيل”, ada juga yang mengatakan: “saya pernah
melihat darah mengalir dari parit di rumahnya pada malam bulan Yanir (Januari dalam
istilah masehi), dan lain sebagainya dari kesaksian dusta para orang-orang
bodoh.
Akan
tetapi berkat kejernihan pikiran Qadhi Sulaiman bin Aswad, walaupun ia terkenal
tegas dan keras dalam mengambil keputusan, ia tidak mudah terpengaruh dengan
kesaksian palsu mereka, ia melihat apa yang dilakukan Ibnu Firnas mutlak berdasarkan
ilmu pengetahuan dan percobaan ilmiah. Dan akhirnya ibnu firnas terbebaskan
dari tuduhan fitnah buta yang mengancam kehidupan dan kebebasannya dalam
bereksperimen.
Hal
serupa juga menimpa teman-teman sejawatannya dari kalangan ulama dan fuqaha, seperti
apa yang terjadi pada penyair sekaligus failusuf Yahya al-Ghazal al-Hayani[27],
faqih Baqiy bin Mukhlid ‘Amid yang dituduh sebagai pengikut zanadiqa, hingga pada
akhirnya untuk membuktikan tuduhan tersebut khalifah Muhammad bin ‘Abdurrahman
menggelar majlis munadhara (debat). Pada majlis tersebut Baqiy bin Mukhlid mampu
menaklukkan argumen lawan sekaligus mematahkan tuduhannya dan terbebas dari
fitnah.
Fitnah-fitnah
semacam ini kerap terjadi di Andalusia, karena pada zaman itu terjadi banyak
sekali gerakan persaingan yang sangat kuat, baik yang bersifat pribadi perorangan
maupun politik pemerintahan.[28]
Wafat
Disebutkan dalam beberapa riwayat Ibnu
Firnas wafat akibat kegagalan yang terjadi ketika landas pada percobaan terbangnya,
riwayat ini tidak dibenarkan, karena setelah terjadi kecelakaan tersebut justru
membuat ibnu Firnas kian giat melakukan ujicoba laboratoirum sehingga
menghasilkan penemuan baru lainnya, seperti pembuatan kaca murni dari batu dan
pasir, pengembangan proses pemotongan batu Kristal, penemuan jam air, penemuan
peraga rantai cincin dan lain sebagainya.
Untuk mengabadikan nama Ibnu Firnas atas segala jasa
dan penemuannya di berbagai bidang ilmu, Libya menerbitkan prangko bergambarkan
ibnu Firnas dan menetapkan nama hotel bandara di Tripoli dengan nama Ibnu
Firnas. Berbeda dengan di Iraq, disana nama ibnu firnas menjelma dengan bentuk patung
di jalan menuju bandara internasional Baghdad, kemudian salah satu bandara di
Iraq utara memakai nama Ibnu Firnas. Namanya juga abadi di salah satu kawah
permukaan bulan.
Penutup
Sebagai penutup, penulis mengutip perkataan
imam ‘Abdu al-Razaq bin Himam bin Nafi’ al-Shan’ani:
سمعت سفيان الثوري يقول لرجل من العرب:
"وَيْحكم، اطلبوا العلم فإني أخاف أن يخرج العلم من عندكم فيصير إلى غيركم
فتذلون. اطلبوا العلم فإنه شرف في الدنيا وشرف في الآخرة".
Saya mendengar Sufyan
al-Stawri berkata kepada seseorang dari arab: “Celakalah kalian, tuntutlah ilmu
karena saya takut suatu saat nanti akan hilang ilmu dari kalian dan kalian
dapati pada orang-orang selain kalian, maka kalian akan menjadi hina. Tuntutlah
ilmu, karena ia adalah suatu kemuliaan di dunia dan di akhirat".
Sangat tepat sekali apa
yang dikatakan sufyan untuk para kaum muslim sekarang ini, banyak sekali ilmu
pengetahuan yang dulu pernah ditemukan dan dikembangkan para tokoh muslim kini
berada pada orang-orang non-muslim. Kaum muslim sekarang hanya menjadi ekor
yang letaknya selalu berada dibelakang dan selalu diremehkan, karena kita hanya
sibuk membanggakan apa yang pernah diperbuat pendahulu kita tanpa disertai
usaha yang sama bahkan melebihi dari usaha mereka. Maka dengan hadirnya tulisan
ringkas ini dapat memotivasi para kaum muslim untuk bangun dari tidur yang
berkepanjangan, bangkit untuk mengembalikan kejayaan yang dulu pernah
diperjuangkan para pendahulunya.
-oOo-
Penulis
Habib Chairul Mustain
Mahasiswa S2, Institut Dar al-Hadist al-Hasania – Rabat.
+2126 33 32 33 45
[1]. Mausu’a
tarikh al-Andalus, Dr. Husein Muenis. jilid 1, hal: 91.
[2]. Takarna
adalah salah satu kota di andalusia selatan, lihat: mausu’a tarikh al-andalus,
Jilid 1, hal: 90. Mu’jam al-‘Ulamae al-‘Arab, Baqur Amin al-Ward; juz 1, hal:
142.
[3]. Tarajim
islamiya syarqiya wa Andalusia, hal: 269.
[5].
Al-mughrib fi hilyi al-maghrib, hal 333.
[6]. Nafkhu
al-thib min ghusni al-andalus al-rathib, jilid 3, hal: 375.
[7]. Bernama
asli Abu Bakar Muhammad bin al-Hasan bin Abdullah bin Basir al-Zubaidi, lahir
dan besar di Isbiliya, menggemari ilmu sastra arab dan sejarah, sehingga
menjadi salah satu pakar dalam bidangnya pada zamannya. Diantara dari
karnyanya:
1- Thabaqat al-Nahwiyin wa
al-Lughawiyin (dicetak), 2- Abniyatu al-Asmae. 3- Lahnu al-‘Ammah. (dicetak
tahun 1970). 4- Mukhtashar al-‘Iin (manuscript). 5- al-Intishar li al-Khalil.
6- Hatko Sutur al-Mulhidin fi al-Rad ‘ala ibn Musirra. Lihat: Thabaqat
al-Nahwiyin wa al-Lughawiyin, hal 2-4.
[8]. Thabaqat
al-Nahwiyin wa al-Lughawiyin, hal 268-270.
[9]. Ibid. Hal
268.
[10]. Mu’jam
al-‘Ulamae al-‘Arab, Baqur Amin al-Ward; juz 1, hal: 142.
[11].
Mausu’atu tarikh al-andalus, jilid 1, hal: 90.
[12]. Tarajim
islamiya syarqiya wa Andalusia, hal: 268.
[13]. Salah
satu putra terbaik maroko kelahiran di kota Tanger tahun 1943, profesi sebagai
dosen di Universitas Muhammad V jurusan Matematika dan informatika. Orang
maroko pertama yang mendapat nobel orang paling berpengaruh dalam ilmu
pengetahuan dan pemikiran dari Universitas Wildenberg Amerika Britania tahun
2003.
[14]. Tarajim
islamiya syarqiya wa Andalusia, hal: 267.
[15]. Nafkhu al-thib
min ghusni al-andalus al-rathib, jilid 3, hal: 374.
[16]. 1001
Inventions the enduring legacy of Muslim civilization, hal 308.
[17]. Ibid.
hal 309.
[18]. Ibid.
hal 309.
[19]. Ibid.
hal 309.
[20]. Di
riwayat lain disebutkan (ما كسا) lihat: nafkhu
al-thib min ghusni al-andalus al-rathib, jilid 3, hal: 374.
[21]. Ibid,
hal: 91.
[22]. Ibid,
hal: 91.
[23]. Tarajim
islamiya syarqiya wa Andalusia, hal: 268.
[24]. Pada
awalnya ia hanyalah pelayan khalifah al-Mahdi penguasa dinasti ‘Abbasiya, ia
juga salah satu murid penyanyi istana yang tersohor Ibrahim al-Mushil, karena
memiliki bakat suara emas yang mampu memikat khalifah al-Mahdi, ia diancam oleh
gurunya Ibrahim, akhirnya ia memutuskan untuk pergi dari baghdad ke qayrowan
(tunis), disanalah ia mendapat julukan ziryab yang berarti burung hitam, karena
kulitnya yang hitam. Disana pula ia meniti karirnya sebagai pendedang lagu,
ketenarannya terdengar hingga andalus. Pada tahun 206H pertama kali ia
menginjakkan kaki di tanah andalus memuhi undangan khalifah ‘Abdurrahman bin
Hakam. Ia termasuk orang yang paling berpengaruh dalam peradaban islam di
Andalusia, pasalnya ia orang pertama yang mengenalkan budaya hidup islam timur,
seperti cara mengenakan pakaian suf (kain wol) di musim dingin dan pakain katon
di musim panas, cara memangkas rambut, cara makan dengan sendok dan garpu
sebagaimana budaya bani abbas di baghdad. Lihat: Mausu’a tarikh al-Andalus, Dr.
Husein Muenis. jilid 1, hal: 87-90.
[25]. Thabaqat
al-Nahwiyin wa al-Lughawiyin, hal 269-270.
[26]. Ia
bernama sa’id bin sulaiman bin habib al-ghafiqi, dikenal dengan nama Aba
khalid, berasal dari kota ghaniq, diangkat sebagai qadhi di kordoba di masa
khalifa Abdurrahman bin Hakam, menggantikan pamannya yang sebelumnya menjadi
qadhi di kordoba. Lihat: al-muqtabis min anbaei al-andalus, Ibnu Hayyan. Hal:
188.
[27]. Ia
bernama yahya bin al-hakam al-bakri al-hayani dikenal dengan nama al-ghazal.
Lahir tahun 156H/773M, dan wafat tahun 250H/864M.
[28]. Ibid.
hal 269-270.
Artikel ini saya tulis sebagai bentuk kontribusi saya pada penulisan buku briografi ulama muslim oleh PPI Maroko.
-oOo-
izin sedot gan :D
ReplyDelete