Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar istilah pemimpin
dan kepemimpinan, dua elemen yang saling berkaitan. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, pemimpin adalah orang yang memimpin, sedangkan kepemimpinan adalah cara
memimpin (style of the leader) yang merupakan cerminan dari karakter/perilaku
pemimpin (leader behavior).
Perpaduan atau sintesis antara leader behavior dengan leader
style merupakan kunci keberhasilan pengelolaan komunitas atau golongan;
atau dalam skala yang lebih luas adalah pengelolaan daerah atau wilayah, dan
bahkan Negara.
Dengan adanya pemimpin, komunitas atau golongan akan memiliki satu
visi untuk menuju orientasi tertentu, maka pemimpin sangatlah penting dalam
setiap komunitas manusia. Sebagaimana yang dikatangan Umar bin Khattab RA: “Apabila
kalian bepergian dengan tiga orang saja, maka jadilah salah seorang diantara
kalian pemimpin bagi kalian, dan dialah pemimpin kalian seperti apa yang telah diperintahkan
Rasulullah Saw”.
Berangkat dari tingkat urgensinya seorang pemimpin, Perhimpunan
Pelajar Indonesia di Maroko selaku organisasi mahasiswa yang didirikan pada
tahun 1992 telah memilih lebih dari 15 ketua untuk mengemban amanah anggota dan
bertanggungjawab menjalankan tugas organisasi selama satu tahun kepengurusan.
Dengan terpilihnya pemimpin dalam setiap periode, menjadikan
tongkat estafet kepengurusan PPI terus berlanjut, sehingga roda organisasi akan
terus berputar menjadikan PPI lebih baik.
PPI saat ini baru berumur 22 tahun, usia yang sangat muda apabila
dianalogikan sebagai usia manusia. Namun
berkat adanya seorang pemimpin dengan gaya kepemimpinan yang baik dapat mengawal
PPI untuk menghadapi segala tantangannya.
Kehadiran seorang pemimpin dan model kepemimpinan yang baik dan
berkualitas pasti sangat diharapkan seluruh anggota PPI, karena dengannya
kegiatan PPI dapat dioptimalkan untuk kepentingan dan kemaslahatan anggota
secara khusus dan bagi seluruh kalangan mahasiswa umumnya. Dengan belajar
menjadi pemimpin organisasi kecil seperti ini seseorang akan belajar
mempersiapkan diri menjadi pemimpin untuk ruang lingkup yang lebih besar.
Namun untuk menjadi pemimpin tidak semudah mengkarbit buah, hari
ini dikarbit besok langsung masak. Untuk menjadi pemimpin sangat dibutuhkan
bekal dan instrument pendukung sehingga akan terwujud sosok pemimpin yang
berkualitas dan memiliki intregitas yang tinggi, alias pemimpin bukan karbitan
atau paksaan.
Bisa kita bayangkan, apabila pemimpin tersebut hasil dari proses
karbitan, visi misinya hanya muncul menjelang debat candidat dan terkesan
dadakan, sehingga tidak mencerminkan keseriusan untuk membawa maju PPI ke
depan. Tak berhenti disitu, ia akan mudah melupa janji-janji yang ia sampaikan
menjelang terpilih.
Akibat lain dari proses karbitan ini, pemimpin akan asal-asalan mengendalikan
stir organisasi, akhirnya roda PPI akan keluar dari jalur yang semestinya
dilalui, akan banyak kegiatan PPI yang tidak terlaksana karena tanpa perhitungan
dan persiapan yang matang, apabila hal ini terjadi anggota yang dirugikan. Hal
ini membuktikan PPI sedang mengalami masa krisis kepemimpinan. Alias
kepemimpinan seorang pemimpin tidak seperti yang diharapkan.
Demi membangkitkan kembali masa krisis ini, PPI perlu berbenah
diri, mengaca kembali apa yang salah, apakah LDK yang setiap tahun
diselenggarakan tidak membawa hasil, atau perlukah diadakan agenda khusus
pengkaderan para pemimpin yang berkrebitilas yang mampu mengawal PPI lebih
baik.
Mengutip dari makalah Ginandjar Kartasasmita mengenai Kepemimpinan
menghadapi masa depan, beliau mengatakan sesungguhnya kita memiliki konsep
kepemimpinan yang berlaku di segala jaman, seperti apa yang diwariskan oleh
Brata adik Sri Rama yang dikenal dengan delapan (Hastha) konsep ajaran
keutamaan yang diadopsi dari sifat-sifat alam. Delapan konsep itu ialah:
- Seorang pemimpin haruslah berwatak matahari, artinya memberi semangat, memberi kehidupan dan memberi kekuatan bagi yang dipimpinnya.
- Harus mempunyai watak bulan yang dpat menyenangkan dan memberi terang dalam kegelapan.
- Memiliki watak bintang, artinya dapat menjadi pedoman.
- Berwatak angin, yaitu dapat melakukan tindakan secara teliti dan cermat.
- Harus berwatak mendung, artinya bahwa pemimpin harus berwibawa, setiap tindakannya harus bermanfaat.
- Pemimpin harus berwatak api, yaitu bertindak adil, mempunyai prinsip, tegas dan tanpa pandang bulu.
- Ia juga harus berwatak samudera, yaitu mempunyai pandangan luas, berisi dan rata.
- Akhirnya seorang pemimpin harus memiliki watak bumi, yaitu budinya sentosa dan suci.
Selain dari konsep ini, Ki
Hadjar Dewantoro merumuskan kepemimpinan sosial dengan tiga ungkapan yang
sangat dalam maknanya : « Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangunkarso,
tut wuri hadayani». Tiga prinsip ini bermakna bahwa « seorang pemimpin
harus berada di depan yang dipimpinnya untuk menjadi teladan, di tengah-tengah
untuk membangun semangat (kemuan), dan mengikuti dari belakang untuk memberi
kekuatan (daya).
Kata-kata ini dikutip oleh
Ki Hadjar dari Raden Mas Sostrokartono (saudara kandung Raden Adjeng Kartini)
yang bunyi aslinya adalah : Ing ngarso asung tulodo, ing madyo
mangun karso, ing wuri handayani.
Senada dengan konsep diatas,
Dr. Amir Syakib Orslan dalam karyanya Limada taakhara lmuslimun wa taqaddama
ghairuhum? (kenapa muslim menjadi keterbelakang dan yang lainnya lebih
maju?) mengunkapkan salah satu penyebab kemunduran umat muslim dan kehancuran
suatu Negara adalah rusaknya akhlak para pemimpin. Karena pemimpin adalah
teladan yang akan diikuti, maka sebagai teladan pemimpin harus mempersiapkan
diri untuk bisa menjadi pribadi yang patut untuk diikuti. Selain itu, pemimpin yang
baik maka rakyat akan baik dan sejahtera, begitu pula sebaliknya.
Dari perkataan beliau ini,
saya terinpirasi untuk menghidupkan kembali filsafat KOMANDO dalam sholat
berjamaah. Artinya, setiap
gerakan dalam sholat diawali oleh gerakan imam kemudian diikuti oleh para
makmum. Begitu juga dalam kepemimpinan, seorang pemimpin pasti akan mengawali
perbuatan sebelum ia menyuruh anggotanya. Ia akan selalu tampil didepan
memberikan contoh bagi anggotanya.
Begitu juga, ia akan merasa menjadi teladan bagi anggotanya, karena
untuk menjadi imam haruslah orang pilihan dari sekian banyak makmumnya.
Imam siap ditegur dan dikritik, hal ini tercermin apabila imam
melakukan kesalahan dalam sholat dan makmum mengingatkan dengan kalimat “subhanallah”,
maka imam sadar bahwasannya ia telah melakukan kesalahan dan segera
memperbaikinya. Kemudian dilanjutkan dengan sujud sahwi bersama, sebagai bentuk
perbaikan bersama.
Apabila Imam batal ketika sedang sholat, maka ia wajib untuk
mengundurkan diri dan siap digantikan oleh makmum yang berada dibelakangnya,
hal ini mendidik kita akan pentingnya kesadaran seorang pemimpin untuk
mengundurkan diri apabila ia melanggar hukum yang bisa merugikan rakyatnya.
Dan masih banyak lagi konsep kepemimpinan yang baik dan ideal,
namun itu semua tidak akan membawa perubahan dalam setiap kepemimpinan PPI,
apabila dalam diri pemimpin masih tumbuh subur sifat egois dan enggan untuk
berubah. Siapapun jangan pernah merasa malu untuk belajar dan bertanya, apalagi
minder merasa dirinya tidak mampu menjadi pemimpin.
Pemimpin bisa dibuat, bahkan acapkali dikatakan pemimpin adalah
“produk budaya” masyarakat. Maka sungguh penting mempersiapkan bibit-bibit
kepemimpinan yang terbaik sedini mungkin.
Semoga dengan hadirnya sekelumit tulisan ini dapat menggugah hati
kita untuk menjadi pemimpin yang memiliki model kepemimpinan yang baik,
sehingga cita-cita atau motto PPI yang tertera dalam AD/ART PPI “Beriman,
berilmu, beramal, berakhlak dan bersatu” akan terwujud.
Artikel ini saya tulis untuk mengisi rubrik kepemimpinan di buletin bulanan Sayyidul Ayyam PPI Maroko.
-oOo-
0 comments:
Post a Comment