Saturday, October 24, 2015

MEMAHAMI ARTI TAKWA

ad+1

KHUTBAH PERTAMA
الحمد لله الذي جعل الكتاب هدى وبشرى للمؤنين، ونذيرا للكافرين. وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، جعل لكل أجلٍ كتابا، ولكل عمل حسابا. وأشهد أن محمدا عبده ورسوله، أرسله الله شاهدا ومبشرا ونذيرا، وداعيا إلى اللَّه بإذنه وسراجا منيرا، بلّغ الرسالة، وأدّى الأمانة ونصح الأمة وجاهد في الله حق جهاده حتى أتاه اليقين. اللّهم صلِّ على سيدنا محمد، طِبِّ القلوب ودوائِها، وعافية الأبدان وشفائِها، ونور الأبصار وضيائِها، وقُوْتِ الأرواح وغِذائِها، وعلى آله وصحبه وسلم تسليما كثيرا. أما بعد.

قال الله سبحانه وتعالى: {يأيها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتنّ إلا وأنتم مسلمون}. أوصيكم وإياي نفسي بتقوى الله فقد فاز المتقون.
Ma’asyiral muslimin jamaah sholat jum’ah yang dirahmati Allah Swt.
Dalam setiap kesempatan khutbah jumat, kita semua selalu diingatkan akan pentingnya menjaga dan meningkatkan kualitas iman dan takwa kepada Allah swt, takwa dengan arti selalu berusaha sekuat tenaga untuk selalu menjalankan perintah Allah Swt baik yang fardhu ataupun yang Sunnah, begitu juga selalu berusaha menjauhi laranganNya baik yang haram ataupun yang makruh, karena hakekatnya takwa adalah pondasi pokok yang harus terpatri dalam setiap individu mukmin. Karena kedudukannya yang sangat urgen inilah, allah Swt memperintahkan kepada seluruh kaum mukmin untuk selalu menjaga kualitas ketakwaannya hingga akhir hayat, sebagaimana dalam firman Allah dalam surat Ali ‘Imran ayat 102:
{يأيها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتنّ إلا وأنتم مسلمون}
Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada allah dengan sebenar-benar takwa, dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan muslim”.
Jika dilihat dari siyaqul ayat (konteks ayat), di ayat ini allah Swt menghususkan perintah takwa hanya kepada kaum mukmin, {يأيها الذين آمنوا اتقوا الله} wahai orang-orang mukmin bertakwalah kepada Allah swt, bukan untuk seluruh manusia, makanya ayat ini dibuka dengan khitab {يأيها الذين آمنوا} wahai orang-orang mukmin, bukan dengan {يأيها الناس} wahai manusia. hal ini mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan makna antara manusia secara umumnya dan mukmin serta muslim, yaitu: seorang mukmin yang mengimani rukun iman dengan sebenar-benarnya pasti ia seorang muslim, akan tetapi seorang muslim belum tentu seorang mukmin, karena pada hakekatnya kualitas keimanan adalah bertingkat-tingkat derajatnya; muslim kemudian mukmin kemudian muttaqi.
Sederhananya, seorang yang mengucap syahadat dengan penuh keikhlasan dan kesadaran tanpa suatu paksaan serta mengimani isinya maka ia akan sah menjadi muslim. Akan tetapi tidak berhenti disitu karena berislam adalah langkah awal seorang muslim, makanya ia haruslah melaksanakan perintah-perintah agama demi menggapai tingkatan selanjutnya, yaitu mukmin.
Begitu juga seorang mukmin tidak hanya sebatas mengimani rukun iman yang enam, akan tetapi ia dituntut mengimaninya dengan sempurna, dengan sebenar-benarnya {حق تقاته}, dengan penuh pemahaman dan kesadaran yang total sehingga keimanannya tersebut akan tercermin dalam tingkah laku dan gerak geriknya, baik terhadap tuhannya maupun terhadap sesama makhluk disekitarnya. Begitulah seharusnya suatu keimanan tidak hanya terpatri dalam jiwa seorang mukmin saja akan tetapi ia harus terimplementasi dalam tindakannya, sehingga ia akan menjadi sumber kebaikan bagi dirinya dan sekitarnya, dengan demikian ia akan menjadi seorang yang muttaqi, seseorang yang benar-benar menjalankan apa yang diperintah tuhannya dengan sekuat tenaga dan menjauhi larangannya. Sesungguhnya allah Swt tidak akan memerintahkan suatu perintah dan melarang suatu larangan kecuali didalamnya terdapat maslahat dan manfaat bagi hambaNya.
Ma’asyiral muslimin jamaah sholat jum’ah yang dirahmati Allah Swt.
Apabila kita cermati lebih mendalam relasi antara perintah takwa dan larangan mati kecuali dalam keadaan berislam, maka akan kita pahami rahasia-rahasia dibalik ayat perintah tersebut, diantaranya:
Allah swt tidak memberi batasan dan kadar tertentu untuk suatu ketakwaan, melainkan Ia hanya memberi ukuran sebaik-baiknya, hal ini mengisyaratkan kepada kita bahwa takwa itu sendiri tidak memiliki batas maksimal, akan tetapi hanya memiliki tingkatan tingkatan yang berbeda sesuai dengan kadar usaha dan tenaga manusia untuk mencapainya, maka semakin besar tenaga yang ia curahkan untuk meningkatkan ketakwaannya maka semakin tinggi pula derajat yang akan ia capai.
Dan setiap kali hati seorang mukmin berada pada koridor ini maka ia akan merasa semakin kurang dan haus ketakwaan, sehingga menjadikannya ingin terus menambahnya dan terus menambahnya, menjadikannya ingin terus mendekat dan terus mendekat hingga sedekat-dekatnya[1]. Begitulah seterusnya, hingga tanpa dirasa ia telah berada pada kedudukan ketakwaan yang tinggi di hadapan tuhannya. Inilah arti sederhana dari sebuah kaidah iman menurut ulama’ ahli sunnah wal jama’ah “Iman itu dapat bertambah dan berkurang”:
الإيمان نُطق باللسان، واعتقاد بالجَنان، وعملٌ بالأركان، يزيد وينقص؛ يزيد بالطاعة وينقص بالمعصية.
"Iman itu ucapan dengan lisan, keyakinan dalam jiwa, perbuatan anggota badan. Sekali-kali ia pasang dan surut; ia akan bertambah dengan ketaatan, begitu pula akan berkurang dengan kemaksiatan".
Ma’asyiral muslimin jamaah sholat jum’ah yang dirahmati Allah Swt.
Seandainya saja Allah Swt memberikan batasan tertentu untuk suatu ketakwaan yang harus dicapai seorang mukmin, seperti definisi iman dalam Hadist asbab nuzul ayat ini yang diriwayat dari Ibn ‘Abbas RA:
يروى عن ابن عباس رضي الله عنهما أنه قال: "لما نزلت هذه الآية شَقّ ذلك على المسلمين؛ لأن حق تقاته: أن يطاع فلا يعصى طرفةَ عين، وأن يشكَر فلا يكفَر، وأن يُذكر فلا ينسى، والعباد لا طاقة لهم بذلك، فأنز الله تعالى بعد هذه قولَه: {فاتقوا الله ما استطعتم}[2].
"Diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas RA, ia berkata : ketika turun ayat ini {يأيها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته} para muslim ketika itu mengalami kesulitan dalam mengamalkan perintah takwa dengan sebenar-benarnya ; karena yang dimaksud takwa yang sebenarnya adalah mentaati allah dan tidak bermaksiat sama sekali kepadaNya walaupun sekecil kedipan mata, dan mensyukuri nikmat allah dan tidak menkufurinya, dan selalu mengingat allah dan tidak melalaikanNya, maka tidak seorangpun yang mampu melakukan hal tersebut, dengan demikian turunlah ayat allah swt {فاتقوا الله ما استطعتم} bertakwalah kepada allah dengan semampu kalian".
Maka apabila yang dimaksud dengan takwa yang sebenarnya adalah seperti definisi diatas maka hal ini sangatlah tidak mungkin dilaksanakan manusia ; karena ia melampaui batas kemampuan manusia, sebagaimana dalam kaedah "التكليف بما لا يطاق"; membebani sesuatu melebihi kemampuannya, dan dalam syariat islam tidak ada suatu perintah apapun yang melebihi kemampuan yang diperintahnya, maka dari pada muncullah syariat rukhsah (mengambil keringanan/dispensasi). Kalaulah para sahabat yang nota benenya hidup bersama Rasulullah mengeluhkan hal tersebut apalagi kita sebagai manusia biasa, manusia mana yang mampu tidak bermaksiat kepada allah walaupun sekecil kedipan mata ?
Dan hal ini mencerminkan ketidakbijakan perintah allah Swt bagi umatnya, karena Ia lah yang menciptakan manusia dengan penuh perbedaan, ada yang kuat dan lemah, ada yang kaya dan miskin, ada yang muda dan tua, ada yang besar dan kecil, maka apabila suatu perintah tersebut hanya berlaku bagi suatu golongan saja maka sangatlah tidak adil dan tidak bijak.
Maha suci allah dari segala kekurangan dan kesalahan, Allah Swt dengan segala keagungannya terjauhkan dari sifat tersebut, justru segala perintahNya secara umum, dan perintahNya dalam ayat secara khusus datang dalam bentuk umum supaya berlaku bagi seluruh mukmin dengan segala perbedaannya. Sesungguhnya allah Swt tidak akan memerintahkan sesuatu melebihi kadar kemampuan yang diperintahNya :
{لا يكلف الله نفسا إلا وسعها لها ما كسبتْ وعليها ما اكتسبتْ}
"Tidaklah Allah Swt membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya, ia mendapat pahala kebajikan yang ia usahakan, dan mendapat siksaan atas apa yang ia kerjakan". [al-Baqarah : 286]
Dengan demikian, ibnu Mas’ud RA menafsirkan maksud sebenar-benar takwa pada ayat pertama {يأيها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته} dengan ayat kedua yang memerintahkan takwa sesuai kadar kemampuan seorang mukmin {فاتقوا الله ما استطعتم}[3] bertakwalah kepada allah Swt sesuai kemampuan kalian. Hal ini juga dipertegas oleh beberapa mufassir modern seperti Imam Thahir Ibnu ‘Asyur dalam tafsir Tahrir Wa Tanwir.

Ma’asyiral muslimin jamaah sholat jum’ah yang dirahmati Allah Swt.
Pada penggalan ayat selanjutnya {ولا تموتنّ إلا وأنتم مسلمون} dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan muslim. Penggalan ayat ini tertera dua kali dalam al-quran dengan bentuk dan bacaan yang sama; Pertama: ia tertera pada surat al-Baqarah ayat 132, yang berbicara tentang kisah nabi Ibrahim As yang mewasiatkan keteguhan terhadap agama Islam bagi anak cucunya, yaitu firman Allah Swt yang berbunyi:
{ووصّى بها إبراهيمُ بنيه ويعقوبُ يا بني إن الله اصطفى لكم الدين فلا تموتنّ إلا وأنتم مسلمون}
“Dan Ibrahim telah mewasiatkan agama itu kepada anak-anaknya, demikian pula ya’qub As: “Hai anak-anakku, sesungguhnya allah telah memilihkan bagi kalian agama ini, maka janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan berislam”.
Dan yang kedua: pada ayat perintah takwa yang sebenar-benarnya, isi dari khutbah ini.
Dari kedua ayat tersebut, mengisyaratkan kepada kita menjaga keislaman dan ketakwaan adalah hal yang sangat penting yang harus selalu diperjuangkan, karena sangat berharganya tersebut dalam keadaan sebelum wafat Ibrahim As mewasiatkannya kepada anak cucunya, dan biasanya seorang CAMAT (Calon Mati) tidak akan mewasiatkan sesuatu kecuali yang amat sangat penting dan berharga, begitu pula wasiat perintah untuk tidak melepaskan islam sampai nafas terakhir pada ayat diatas.
Ayat ini juga mengisyaratkan kepada kita suatu ketakwaan hendaknya selalu hadir dalam setiap saat, dalam setiap hembus nafas, dalam setiap gerak gerik manusia hingga akhir hayatnya, karena kematian adalah sebuah misteri yang tak seorangpun mengetahui kapan dan dimana ia akan menemuinya, ia akan tiba menghampiri kita tanpa harus diberitahu dan diundangan.
Begitu banyak orang-orang disekeliling kita yang semula masih bersama kita, masih bersenda gurau bersama, makan minum tidur bersama, akan tetapi tanpa diduga maut menghampirinya. Maka pada hakekatnya kematian amatlah dekat dengan kita, hanya saja kita yang tidak mengetahui kedekatannya. Khalifah Abu Bakar as-Sidiq RA mengibaratkan kedekatan jarak suatu kematian itu lebih dekat dari sepasang alas kaki, beliau berkata :  
كل امرئ مصبَّحٌ في أهله *** والموت أدنى من شِراك نعلِه
"Setiap diri manusia tinggal bersama keluarganya, dan kematian itu lebih dekat dari sepasang sendalnya".
Kalaulah manusia mampu menghitung sisa umurnya dan mampu mendeteksi kapan akan datang ajalnya, sudah pasti semua orang akan berebut tempat di masjid untuk beribadah, bertaubat atau bahkan tidak akan ada lahan kosong semua tempat menjadi masjid, dan manusia sibuk beribadah sehingga dunia akan fakum dan tidak ada perubahan, bisa jadi tidak akan ada teknologi dan sarana transportasi seperti yang kita rasakan hari ini.
Begitulah hikmah dari misteri kematian menjadikan manusia tidak terfokus pada kematian dan terus bergerak dan berinovasi dalam kehidupan, sehingga terwujud suatu kemajuan dan kemodernan.
Dan begitu pula hikmah dari perintah takwa yang dikaitkan dengan kematian, manakala kematian adalah misteri yang tak seorangpun mengetahuinya, maka ia berarti perintah bertakwa sepanjang hidup, jangan sampai maut menjemput kita dalam keadaan tidak bertakwa atau suulkhatimah.
Ma’asyiral muslimin jamaah sholat jum’ah yang dirahmati Allah Swt.
Dengan demikian sangatlah jelas perintah allah pada ayat {يأيها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتنّ إلا وأنتم مسلمون}, di bagian awal Allah Swt memerintahkan kepada kaum mukmin untuk bertakwa dengan sebaik-baiknya supaya dapat mencapai derajat ketakwaan yang sempurna. Kemudian pada bagian akhir ayat, allah Swt memerintahkan kepada kaum muslimin untuk tidak mati kecuali dalam keadaan berislam, yaitu batas minimal dari tingkatan keimanan seorang muslim.
Sederhananya, kalaulah kamu sudah menjadi muslim, maka tingkatkanlah kualitas imanmu dengan sekuat tenagamu supaya kamu dapat mencapai derajat muttaqi (orang yang bertakwa), akan tetapi apabila kamu tidak mampu dan ajalmu datang, maka minimal jadilah seorang yang muslim, karena sungguh sangat rugi seorang yang diberi kesempatan hidup di dunia dengan segala nikmatnya meninggal dalam keadaan tidak berislam atau suu lkhatimah, allah Swt berfirman:
{ومن يبتغ غير الإسلام دينا فلن يُقبل منه وهو في الآخرة من الخاسرين}
“Barang siapa mencari agama selain islam maka sekali-kali tidak akan diterima agama pilihannya itu, dan di akhirat kelak ia termasuk golongan orang-orang yang merugi” [Ali ‘Imran: 85]
Minimal ada dua rahasia kenapa allah swt melarang hambaNya yang mukmin untuk tidak wafat kecuali dalam keadaan muslim; pertama: Agar diterima amal perbuatannya selama hidup di dunia, karena suatu amal ibadah akan diterima allah Swt apabila mendapat ridhaNya, yaitu apabila dilakukan sesuai dengan tuntunan yang diajarkan Rasulullah Saw dan dijalankan dengan penuh ikhlas karena Allah Swt. kedua: supaya tidak tergolong orang-orang yang merugi di akhirat kelak, merugi dengan arti amal dan usaha yang ia lakukan selama hidup di dunia tidak memberi pahala baginya dan akan sia-sia, justru hanya azab yang ia terima.[4]
Dengan demikian, marilah kita berintropeksi diri, sudahkah selama ini kita berusaha sekuat tenaga untuk bertakwa kepada allah Swt? kalau memang sudah marilah kita terus jaga dan tingkatkan lagi, sehingga apabila telah datang ajal kita, kita meninggal dalam keadaan bertakwa dan berislam dengan husnul khatimah. Dan kalau memang belum, marilah mulai dari detik ini, dari tempat ini kita bersama melatih dan berusaha untuk bertakwa. Semoga Allah Swt senantiasa membimbing kita semua untuk selalu bertakwa sebagai modal dan bekal kita di akhirat kelak. Amin ya rabbal ‘alamin.
بارك الله لي ولكم من القرآن الكريم ونفعني وإياكم بما فيه من أيات وذكر الحكيم، أقول قولي هذا، واستغفروا الله العظيم لي ولكم ولسائر المسلمين والمسلمات من كل ذنب، استغفروه إنه هو الغفور الرحيم.
KHUTBAH KE DUA
الحمد لله الذي أرسل رسوله بالهدى والدين الحق، ليظهره على الدين كله، ولو كره الكافرون، أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمد عبده ورسوله، اللهم صل على سيدنا محمد، الفاتحِ لما أُغلق، والخاتمِ لما سبَق، ناصرِ الحق بالحق، والهادي إلى صراطك المستقيم، وعلى آله حق قدره ومقداره العظيم. وبعد.
إنَّ أحسن الكلام كلامُ الله الملكِ العلاَّم، واللهُ سبحانه وتعالى يقول وبقوله يهتَدى المهتدون، فإذا قرِئ القرآن فاستمعوا له، وأنصتوا لعلكم ترحَمون، أعوذ بالله السميع العليم من الشيطان الرجيم، بسم الله الرحمن الرحيم: {اتل ما أُوحي إليك من الكتاب وأقمِ الصلاة إن الصلاة تنهى عن الفحشاء والمنكر ولذكر الله أكبر والله يعلم ما تصعون}.
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu yaitu alquran dan dirikanlah sholat. Sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah itu lebih besar keutamaannya, dan Allah Swt mengetahui apa yang kamu kerjakan”. [al-‘Ankabut: 45]
إن الله وملائكته يصلون على النبي ياأيها الذين آمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما، اللهم صل على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد كما صليت على سيدنا إبراهيم وعلى آل سيدنا إبراهيم، وبارك على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد كما باركت على سيدنا إبراهيم وعلى آل سيدنا إبراهيم في العالمين إنك حميد مجيد.
اللهم اغفر للمؤمنين المؤمنات، والمسلمين والمسلمات، الأحياء منهم والأموات، إنك سميع قريب مجيب الدعوات يا قضي الحاجات. اللهم اجعل جمعنا هذا جمع مرحوما، واجعل تفرقنا من بعده تفرقا معصوما، ولا تدع فينا ولا معنا شقيا ولا محروما. اللهم إنا نسألك الهدى والتقى والعفاف والغنى. اللهم أعنا على ذكرك وشكرك وحسن عبادتك. اللهم ارزقنا علما نافعا، وعملا متقبلا، ورزقا واسعا، وقلبا خاشعا، ولسانا ذاكرا، وإيمانا خالصا، وهب لنا إنابةَ المخلِصين، وخشوع المخبِتين، وأعمال الصالحين، وأصلِح ذات بيننا، واجمع قلوبنا على الخير، يا أفضل من رجِي وقصِد، وأكرم من سئل. اللهم اغفر لنا ولوالدينا وجميع المسلمين برحمتك يا أرحم الراحمين. ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار.
عباد الله، إن الله يأمركم بالعدل والإحسان وإيتاء ذي القربي وينهى عن الفحشاء والمنكر والبغي يعظكم لعلكم تذكرون، واذكرو الله العظيم يذكركم، واشكروه على نعمه يزدكم، ولذكر الله أكبر. أقيموا الصلاة، والله يعلم ما تصنعون.
-***-



[1]. Fi dhilalil quran, Sayyid Qutb, jilid 1, hal 442.
[2]. Mafaatiih lghaib, Abu Bakar Razi, juz 8, hal 176.
[3]. Thaghabun: 16.
[4]. Mafaatiih lghaib, Abu Bakar Razi, juz 8, hal 138. 

0 comments:

Post a Comment

Home About-us Privacy Policy Contact-us Services
Copyright © 2014 kite | All Rights Reserved. Design By Templateclue - Published By Gooyaabi Templates